KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang
telah memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan
makalah ini. Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan
kepada nabi Muhammad saw. yang menjadi tauladan para umat manusia yang
merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan
untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Sejarah Peradaban Islam. Selain
bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis selanjutnya adalah untuk
mengetahui proses pendirian bani Umayah, dan Abbasiyah pola pemerintahan Bani
Umayah dan Abbasiyah.
Dalam penyelesaian makalah ini,
penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu
pengtahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam
menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang
masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di
masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat
dan maslahat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali
bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau
kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan
pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses
musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau
kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya
untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan
Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang
kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
B.
Rumusan Masalah
Ada
pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Pendirian Dinasti Bani Umayyah
2.
Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah
3.
Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
4.
Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
5.
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
6. Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?
7. Seperti apa masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?
8.
Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan
Bani Abbasiyah ?
9.
Apa faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbasiyah ?
10.
Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani
Abbasiyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.1 Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman
bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35
H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme
(mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau
gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk
memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di
pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima
tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas
merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung
Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17
Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat
terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang
yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah
Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat
madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[1][2] ternyata ditentang oleh sekelompok
orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus,
Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat
sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu
catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam
untuk bertemu dengan Muawiyah dengan
membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib
menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung
pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini
terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman
bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di
Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[2][3]. Muawiyah tidak menginginkan adanya
pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim
baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah pengganti
Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus
mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan
mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak
mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil
mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan
orang yang dicurigai terlibat pembunuhan
tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan
menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi
dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil
individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra[3][4] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu
Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di
ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu
di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk
penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan
kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi
Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib
berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang
tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan
dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang
mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang
patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga
Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara
mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan
menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di
daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia
tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini
di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana
yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat
resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan
kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes
dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka
juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi
dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera
menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh khalifah Utsman bin Affan semakin
rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa
yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk
kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat
mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti
semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai
gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru
ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah
Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan
pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di
sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat
peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian
mereka.
1.2 Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib
pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661
M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid
Kufah, oleh kelompok khawarij[4][5] yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan
dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada
sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu.
Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian
diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu
Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya
sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama
mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan
lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin
negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh
muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan
Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan –
pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia
melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena
kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu
Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali
perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk
itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi
pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia
menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
- Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
- Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
- Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
- Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
- Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan,
Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin
Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah
sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan
mengutus orang-orang kepercayaannya
seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini,
Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda
tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui
bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan
sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah
dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah
bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya
dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan
Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran
Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali
kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin
dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil
meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi
dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan
pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya
dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan
tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti
baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya
dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa
peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang
menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas
“demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.
Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[5][6]
Namun perlawanan terhadap bani
Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin
Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam
Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.[6][7]
B. Pola
Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang
ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup
dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan
sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya
dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku
akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).[7][8]
Pernyataan di atas cukup mewakili
sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung
dan seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti
besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti
Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik
mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya,
politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia
wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan
pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa
sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik
yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung
oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia
memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi
baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut[8][9].
Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat
oleh Allah.[9][10]
Karena proses berdirinya
pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya
dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya,
terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan
khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk
putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin
Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa
Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak,
hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem
kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan
kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran
bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi
pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih
pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani
Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia
(bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa
seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran
permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem
pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain
misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin,
Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara
memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan
Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan
keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz
(717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang
berkuasa:
- Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
- Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
- Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
- Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
- Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
- Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
- Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
- Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
- Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
- Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
- Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
- Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[10][11]
C. Masa
Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra
saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima
khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat
menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup
dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun
setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang
sangat sederhana, adil dan jujur.[11][12] Karena
kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga
disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif
singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan.
Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk
kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja
dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif,
membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan
reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi
kemiskinan.[12][13]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada
perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan
dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat dari jabatannya pada
tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan
bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding
terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
D. Ekspansi
Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman
Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium,
Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan
dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.[13][14]
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan
Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah
barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat
ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat
ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu
kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti
Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah
jatuhnya Kordova[14][15].
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa. Di zaman Umar
bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam
peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur
kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani
Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya,
baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi
bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai
bidang antara lain:
· Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan.
·
Menertibkan
angkatan bersenjata.
·
Pencetakan
mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang
dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan
Arab.
· Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi
profesi sendiri .
· Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya
diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
· Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua
personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
·
Membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
·
Membangun
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
·
Hadirnya
Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan
sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar
Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan
Al-sunnah).
·
Pengembangan
di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang
sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara
kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir,
hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan Sirah/Tarikh.
Asy-Syakhsiyyah
al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah
wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.
BANI ABBASIYAH
A. Sejarah Berdirinya Bani
Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan
sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu
yang sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M.
Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah
dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan
anak-anaknya.
Kelahiran
bani Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh
golongan syi'ah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Golongan
Syi'ah selama pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan
tersingkir karena kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal
ini bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di
Karbela.
Gerakan
oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi'ah dipimpin oleh Muhammad
Bin Ali, ia telah di bai'ah oleh orang-orang syi'ah sebagai imam. Tujuan utama
dari perjuangan Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah
dari tangan Bani Umayyah, karena menurut keyakinan orang syi'ah keturunan Bani
Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan
dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah bukan berasal dari keturunan
Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini memakai nama Bani
Hasyim, belum menonjolkan nama Syi'ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk
mencari dukungnan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini
adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini
bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah.
Strategi yang digunakan
untuk menggulingkan Bani Umayyah ada dua tahap :
· Gerakan
secara rahasia
Propoganda
Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia,
akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan
kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir,
Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah
dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada
adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui
bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke kuffah.
· Tahap
terang-terangan dan terbuka secara umum
Tahap ini
dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan
kepada Abu Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di
Khurasan. Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia
tersebut ia menangkap Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu
pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad
as-saffah, saudara Ibrahim bin Muhammad. Abul Abbas sangat beruntung,
karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan
sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan bertambah
luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong semangat Abul Abbas
untuk menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya. Untuk
maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas
pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin
oleh khalifah Marwan bin Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi
sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan
diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah
bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya
terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena
pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada
tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai'ah
menjadi khalifah , dalam pidato pembiatan tersebut , ia antara lain mengatakan
"saya berharap semoga pemerintahan kami ( Bani Abbas ) akan
mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai penduduk koufah, bukan
intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan kami
beserta ahlul Bait adalah berkat pertolongan Allah SWT. Hai
penduduk koufah, kalian adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah
berubah dalam pandangan kami, walaupun penguasa yang zalim ( Bani Umayyah )
telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian telah dipertemukan oleh Allah
dengan Bani Abbas, maka jadilah kalian orang-orang yang berbahagia dan yang
paling kami muliakan..... ketahuilah, hai penduduk koufah, saya adalah al-saffah". Setelah
Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai
pusat pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya,
dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Para
pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus
2) Kota
Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung Bani Abbas dalam menggulingkan Bani
Umayyah
3) Kota
Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman
bagi pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur
(754-775 M ) dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang
baru.
B. Masa kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para sejarawan biasanya membagi
kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
· Masa
Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
· Masa
Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai
berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
· Masa
Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M
· Masa
Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai
jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun
656 H/1258 M.
1) Masa
Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan
berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode
ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena
keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga
sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada
sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi dalam penyebaran Islam mereka
adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M),
Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin
(809 M), Al-Ma'mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-Mu'tasim (833-842 M), dan
Al-Wasiq (842-847 M).
2) Masa
Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq
dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal
Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya
pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang
berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang
dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif,
keempat pemerintahan itu adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta'in (862-866
M), Al-Mu'taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini
dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga
banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah
merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
3) Masa
Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah,
yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah
Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat,
sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah
kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun
869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa
Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah.
Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad
yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah
telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad.
Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia
(932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di
Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah
di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)
4) Masa
Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan
mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656
H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol menyerang serta menaklukkan Baghdad dan
hampir seluruh dunia Islam terutama bagian timur.
C. Masa Kejayaan Peradaban
Bani Abbasiyah
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai
masa keemasan, secara politis para khalifah memang orang-orang yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus Agama. Disisi lain kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan Filsafat dan ilmu pengetahan dalam Islam. Peradaban dan kebudayyan Islam berkembang dan tumbuh
mencapai kejayaan pada masa Bani Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan pada masa
ini Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam
dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak perbedaan pokok dinasti Abbasiyah
dengan dinasti Umayyah. Puncak kejayaan
dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M) dan
anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam
keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan
dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara sampai ke India. Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah mengalami
perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat, hal ini sangat ditentukan oleh
perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku
sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan, selain itu juga ada dua
hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :
a. Terjadinya
asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu
mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas,
bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam
bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari bidang
kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat
dari terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b. Gerakan
penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah
Al-Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah
buku-buku dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa
khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah
bidang filsafat, dan kedokteran. Dan pada fase ketiga berlangsung setelah tahun
300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-biadang
ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah
zaman yang gemilang bagi Islam. Zaman ini kota baghdad mencapai puncak
kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya, Harun sangat cinta pada
sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala penjuru ke Baghdad. Salah
satu pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan tersebut adalah
didirikannya pabrik kertas di Baghdad. Orang Islam pada awalnya membawa kertas
dari Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat kaitannya dengan perkembangan
Universitas Islam. Pabrik kertas ini
memicu pesatnya penyalinan dan pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh buku
ditulis tangan. Ilmu cetak muncul pada tahun 1450 M ditemukan oleh gubernur di
Jerman. Dikota-kota besar islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga
berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengajaran non-formal.
Popularitas Bani Abbasiyah ini juga ditandai dengan
kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah Al-Rasyid untuk keperluan sosial
seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan faramasi didirikan, dan
pada masannya telah ada sekitar 800 orang dokter, selain itu
pemandian-pemandian umum didirikan. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman
keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi.
Adapun
ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbasiayah adalah sebagai
berikut :
v Ilmu
Kedokteran
Pada mulanya Ilmu Kedokteran telah ada pada saat Bani
Umayyah, ini terbukti dengan adannya sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan
Harran.. Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan dokter terkenal diantaranya sebagai
berikut
· Hunain
Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan
penerjema buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
· Ar-Razi
(809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan
campak. Ia adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya
dbidang ilmu kedokteran adalah Al-Ahwi.
· Ibnu
Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi
At-Tibb dan dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa
dan negara-negara Islam.
· Ibnu
Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh
darah dan penyakit cacar. Dll.
v Ilmu tafsir
Pada masa
ini muncul dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir
Bir ra'yi, aliran yang pertama lebih menekan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan
Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran
tafsir yang kedua lebih menekan pada logika ( rasio ) dan Nash. Diantara ulama
tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H)
dengan karangannya jami' al-bayan fi tafsir Al-Qur'an,
Al-Baidhawi dengan karangannya Ma'alim al-tanzil, al-Zakhsyari
dengan karyanyaal-kassyaf, Ar-Razi(865-925 M) dengan karangannya al-Tafsir
al-Kabir, dan lain-lainnya.
v Ilmu
Hadist
Pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz
(717-720 M) dari Bani Umayyah sudah mulai usaha untuk mengumpulkan dan
membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan ilmu hadist yang paling menonjol
pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa inilah muncul ulama-ulama hadist
yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantara yang terkenal ialah Imam
Bukhari (W.256
H) ia telah mampu mangumpulkan sebanyak 7257 Hadist dan setelah diteliti
terdapat 4000 hadist Shahih dari yang telah berhasil dikumpulkan oleh imam
Bukhari yang disusun dalam kitabnya Shahih Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H)
terkenal sebagai seorang ulama hadist dengan bukunya Shahih Muslim,
buku karangan imam Bukhari dan Muslim diatas lebih berpengaruh bagi umat Islam
dari pada buku-buku hadist lainnya, seperti Sunan Abu Daud oleh
Abu Daud ( W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh
imam Al-Turmizi(W.287 H) Sunan Al-Nasa'i oleh Al-Nasa'i (
W.303 H) dan sunan Ibnu-Majah oleh Imam Ibnu Majah ( W.275
H) keenam buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al- Kutub
Al-Sittah.
v Ilmu
Kalam
Bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan pada masa
Bani Abbasaiyah merupakan dasar-dasar Ilmu Fiqh. Ilmu ini disusun oleh
ulama-ualama yang terkenal pada masa itu dan masih besar pengaruhnya sampai
sekarang, Diakalangan Ulama Ahlu al-Sunnah wal jamaah. Muncul
Imam Abu Hanifah(810-150 H) yang lebih cendrung memakai akal (rasio) dan
Ijtihad, Imam Malik Bin Anas (93-179 H) yang lebih cendrung memakai hadist dan
menjauhi sampai batas tertentu pemakaian Rasio, Imam Syafi'i (150-204 H) yang
berusaha mengkompromikan aliran Ahl al-Ra'yi, dengan Ahl
al-Hadist dalam Fiqh, dan Imam Ahmad bin Hambal(164-241 H) yang
merupakan tokoh aliran Fiqh yang keras, ketat dan kurang luwes dari
aliran-aliaran fiqh yang lainnya. Buku karang mereka masih dapat kita temukan
sampai sekarang yaitu al-muawatta, al-umm, al-risalah,
dan sebagainya.
v Ilmu
Tashawuf
Dalam bidang ilmu Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang
terkenal pada masa pemerintahn Daulah Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai
seorang ulama sufi pada masa Daulah Bani Abbasiyah meninggalkan karyanya yang
masih beredar sampai sekarang yaitu buku Ihya' Al-Din, yang
terdiri dari lima jilid. Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang
Tashawuf yang berjudul Al-Thawasshin, Al-Thusi
menulis buku al-lam'u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W. 465 H)
dengan bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi il'm al-Tashawuf.
v Ilmu
Matematika
Terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan
karya dibidang matematika. Diantara ahli matematika islam yang terkenal adalah
Al-Khawarizmi, adalah seorang pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu
hitung) dan penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin
Muhammad Bin Ismail Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika.
v Ilmu
Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah
Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi
tentang obat-obatan), jami' al-mufradat al-adawiyah (berisi
tentang obat-obatan dan makanan bergizi). Dan
masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal
ini terlihat bahwa saat Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia
mendirikan Universitas Mustansiriah di Baghdad yang dapat dibanggakan karena
telah mampu melampaui Universitas di Eropa. Mereke mempunyai Fakultas-fakultas
yang sempurna, mahaguru digaji berdasarkan banyak mahasiswa yang terdapat dalam
Fakultasnya, setiap Mahasiswa dan Mahaguru mendapatkan satu dinar emas setiap
bulannya, dan rata-rata setiap Fakultas tidak ada yang kurang dari 3000
Mahasiswa didalamnya. Setiap Mahasiswa boleh makan ke dapur umum Mahasiswa
dengan Cuma-Cuma, sebuah perpustakaan besar terdapat dalam Universitas itu.
Setiap mahasiswa yang berkeinginan menyalin buku-buku atau ingin menyusun buku
baru, ada sebuah kantor yang mengurus persediaan kertas, pena dan tinta untuk
keperluan itu. Disamping Universitas dibangun sebuah rumah sakit untuk
mahasiswa diperiksa kesehatannya, hal inilah yang menyebabakan berbagai Universitas
di Eropa mengambil contoh pada Universitas Mustansiriah itu.
D. Faktor-Faktor Yang
Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah
Menurut W. Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab
kemunduran Bani Abbasiyah adalah :
1. Luasnya
wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa
dan pelaksana pemerintah sudah sangat rendah.
2. Dengan
profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keuangan
negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat
besar. Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M. A diantara hal yang
menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbasiayah Adalah :
1. Persaingan
antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan dilatar belakangi oleh
persamaan nasib pada saat pemerintahan Bani Umayyah, keduanya sama-sama
tertindas. Setelah dinasti Abbasiyah berdiri Bani Abbas tetap mempertahankan
persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antar bangsa menjadi pemicu untuk
saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk berkusa telah
dirasakan sejak awal pemerintahan Bani Abbas.
2. Kemerosotan
Ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan Ekonomi
bersamaan dengan Kemunduran dibidang Politik. Pada periode pertama, pemerintahan
Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih
besar dari pada yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan Harta. Setelah
khalifah mengalami periode kemunduran , pendapatan negara menurun, dengan
demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3. Konflik
Keagamaan
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada
periode Abbasiyah , konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga
terjadi perpecahan. Berbagai Aliran keagaam seperti Mu'tazillah, Syi'ah, Ahlus
sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah
mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Perang
Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal ummat Islam.
Pernag salib yang terjadi beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi
dan perhatian Bani Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salib
sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
5. Serangan
Bangsa Mongol
Serangan
tentara mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah,
apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan
kekuasaan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada kekuatan Mongol.
E. Masa Akhir Kekuasaan Bani
Abbasiyah
Akhir dari kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad
dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M).
Ia adalah saudara dari Kubilay Khan yang berkuasa di Cina sampai ke Asia
Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan
wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan
diratakan dengan tanah. Pada mulanya Hulagu Khan mengirim suatu tawaran
kepada Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir Al-Mu'tashim billah
untuk bekerja sama menghancurkan gerakan Assassin. Tawaran tersebut tidak
dipenuhi oleh khalifah. Oleh karena itu timbullah kemarahan dari pihak Hulagu
Khan. Pada
bulan september 1257 M, Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah
Khurasan, dan mengadakan penyerangan didaerah itu. Khulagu Khan memberikan
ultimatum kepada khalifah untuk menyerah, namun khalifah tidak mau menyerah dan
pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara Mongol melakukan penyerangan.
Pada waktu
penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah
dekat Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya
membutuhkan beberapa hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota
Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak
ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sunagi Tigris sehingga
berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena
lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari penjelasan–penjelasan yang
telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat
Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan
masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni
656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama
Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis
semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian
berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh
rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum
muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan
perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan
pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat
Islam yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban ummat Islam yang
pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan
kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan
yang pesat sehingga pada masa ini banyak muncul para tokoh ilmuan
dari kalangan Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti
ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan
lain-lainnya, sehingga pada masa ini telah ada lebih dari 800 dokter yang
berada di kota Baghdad. Dalam bidang matematika melahirkan ilmuan bernama
Al-Khawarizmi yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga dari biang ilmu
agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu
tashauf, yang juga melairkan tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa
pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin,
karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan
dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah sakit, irigasi, dan
pemandian-pemandian umum.
B. SARAN
Demikianlah isi dari makalah kami,
yang menurut kami telah kami susun
secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai
sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya.
Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa
“meskipun” berkisah mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi
perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai
perjuangan para pendahulu kita, belajar menghargai tetes darah dan keringat
mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar
dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal berharga untuk
melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar
dengan perjalanan sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali
lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi
menguatkan keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang
kita peluk ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009
- Prof. Dr. H. Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam jilid II, Padang : IAIN-IB Press, 2001
- Dra. Hj. Ismail, Chadijah, sejarah pendidikan Islam, Padang : IAIN-IB Press, 1999
- Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009
- Dr. Yatim,Badri, M. A, Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993
4 komentar:
hi Faiziyah,
saya suka Makalah ini. Trimakasih yah.
Salam : http://hikayahhati.blogspot.com
tx m'b buat informasinya. klw boleh tahu judul lagu di blog ini apa yah m'b ?
izin copy mba
terima kasih, ini sangat membantu untuk tugas proyek saya.
Posting Komentar