Makalah tentang Bani Umayyah dan Abbasiyah



KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr.Wb
            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah  ini. Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw. yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Sejarah Peradaban Islam. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis selanjutnya adalah untuk mengetahui proses pendirian bani Umayah, dan Abbasiyah pola pemerintahan Bani Umayah dan Abbasiyah.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
            Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di masa yang akan datang.
            Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan maslahat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb

Penyusun






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
B.    Rumusan Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Pendirian Dinasti Bani Umayyah
2.      Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah
3.      Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
4.      Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
5.      Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
6.      Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?
7.      Seperti apa masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?
8.        Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Bani Abbasiyah ?
9.        Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani  Abbasiyah ?
10.    Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.1  Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[1][2] ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu  dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[2][3]. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib  sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam  agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan  tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra[3][4] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman  bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.

1.2  Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun  40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij[4][5] yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur  dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk  itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
  1. Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
  2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
  3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
  4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
  5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.

Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya  seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[5][6]
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.[6][7]

B.     Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).[7][8]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun  peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut[8][9]. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.[9][10]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik  intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
  1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
  2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
  3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
  4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
  5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
  6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
  7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
  8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
  9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
  10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
  11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
  12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
  13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
  14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[10][11]

C.    Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.[11][12] Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.[12][13]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.

D.    Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[13][14]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[14][15]. Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).

E.     Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
·         Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
·         Menertibkan angkatan bersenjata.
·         Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
·         Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .
·         Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
·         Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
·         Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
·         Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
·         Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan Al-sunnah).
·         Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan Sirah/Tarikh.


Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.





BANI ABBASIYAH
A. Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu yang sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
Kelahiran bani Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh golongan syi'ah terhadap pemerintahan  Bani Umayyah. Golongan Syi'ah  selama pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan tersingkir  karena kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal ini bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di Karbela.
Gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi'ah dipimpin oleh Muhammad Bin Ali, ia telah di bai'ah oleh orang-orang syi'ah sebagai imam. Tujuan utama dari perjuangan Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah dari tangan Bani Umayyah, karena menurut keyakinan orang syi'ah keturunan Bani Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah bukan berasal dari keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya  golongan ini memakai nama Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi'ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk mencari dukungnan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah.
Strategi yang digunakan untuk menggulingkan Bani Umayyah ada dua tahap :
·         Gerakan secara rahasia
Propoganda Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia, akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke kuffah.
·         Tahap terang-terangan dan terbuka secara umum
Tahap ini dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan kepada Abu Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan. Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia tersebut ia menangkap Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara Ibrahim bin Muhammad. Abul Abbas sangat beruntung, karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong semangat Abul Abbas untuk menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya. Untuk maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh khalifah Marwan bin Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai'ah menjadi khalifah , dalam pidato pembiatan tersebut , ia antara lain mengatakan "saya berharap semoga pemerintahan kami  ( Bani Abbas ) akan mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai penduduk koufah, bukan intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan kami beserta ahlul Bait adalah berkat pertolongan Allah SWT. Hai penduduk koufah, kalian adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah berubah dalam pandangan kami, walaupun penguasa yang zalim ( Bani Umayyah ) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian telah dipertemukan oleh Allah dengan Bani Abbas, maka jadilah kalian orang-orang yang berbahagia dan yang paling kami muliakan..... ketahuilah, hai penduduk koufah, saya adalah al-saffah". Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai pusat pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya, dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1)      Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus
2)      Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung  Bani  Abbas dalam menggulingkan Bani Umayyah
3)      Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman bagi pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur (754-775 M ) dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang baru.
B. Masa kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
·         Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
·         Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
·         Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M
·         Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M.

 
1)      Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma'mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-Mu'tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
2)      Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta'in (862-866 M), Al-Mu'taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
3)      Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)

4)      Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama bagian timur.
C. Masa Kejayaan Peradaban Bani Abbasiyah
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan, secara politis para khalifah memang orang-orang yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus Agama. Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan Filsafat dan ilmu pengetahan dalam Islam. Peradaban dan kebudayyan Islam berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan pada masa ini Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak perbedaan pokok dinasti Abbasiyah dengan dinasti Umayyah. Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara sampai ke India. Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat, hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan, selain itu juga ada dua hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :
a.       Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat dari terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b.      Gerakan penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah buku-buku dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah bidang filsafat, dan kedokteran. Dan pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-biadang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam. Zaman ini kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya, Harun sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala penjuru ke Baghdad. Salah satu pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan tersebut adalah didirikannya pabrik kertas di Baghdad. Orang Islam pada awalnya membawa kertas dari Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat kaitannya dengan perkembangan Universitas Islam. Pabrik kertas ini memicu pesatnya penyalinan dan pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh buku ditulis tangan. Ilmu cetak muncul pada tahun 1450 M ditemukan oleh gubernur di Jerman. Dikota-kota besar islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengajaran non-formal.
Popularitas Bani Abbasiyah ini juga ditandai dengan kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah Al-Rasyid untuk keperluan sosial seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan faramasi didirikan, dan pada masannya telah ada sekitar 800 orang dokter, selain itu pemandian-pemandian umum didirikan. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara  terkuat dan tak tertandingi.
Adapun ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbasiayah adalah sebagai berikut :
v  Ilmu Kedokteran
Pada mulanya Ilmu Kedokteran telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan Harran.. Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan dokter terkenal diantaranya sebagai berikut
·         Hunain Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan penerjema buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
·         Ar-Razi (809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan campak. Ia adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya dbidang ilmu kedokteran adalah Al-Ahwi.
·         Ibnu Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi At-Tibb dan dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa dan negara-negara Islam.
·         Ibnu Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar. Dll.
v  Ilmu tafsir
Pada masa ini muncul dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir Bir ra'yi, aliran yang pertama lebih menekan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang kedua lebih menekan pada logika ( rasio ) dan Nash. Diantara ulama tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan karangannya jami' al-bayan fi tafsir Al-Qur'an, Al-Baidhawi dengan karangannya Ma'alim al-tanzil, al-Zakhsyari dengan karyanyaal-kassyaf, Ar-Razi(865-925 M) dengan karangannya al-Tafsir al-Kabir, dan lain-lainnya.
v  Ilmu Hadist
Pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sudah mulai usaha untuk mengumpulkan dan membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan ilmu hadist yang paling menonjol pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa inilah muncul ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantara yang terkenal ialah Imam Bukhari             (W.256 H) ia telah mampu mangumpulkan sebanyak 7257 Hadist dan setelah diteliti terdapat 4000 hadist Shahih dari yang telah berhasil dikumpulkan oleh imam Bukhari yang disusun dalam kitabnya Shahih Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadist dengan bukunya Shahih Muslim, buku karangan imam Bukhari dan Muslim diatas lebih berpengaruh bagi umat Islam dari pada buku-buku hadist lainnya, seperti Sunan Abu Daud oleh Abu Daud ( W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh imam Al-Turmizi(W.287 H) Sunan Al-Nasa'i oleh Al-Nasa'i ( W.303 H) dan sunan Ibnu-Majah oleh Imam Ibnu Majah ( W.275 H) keenam buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al- Kutub Al-Sittah.
v  Ilmu Kalam
Bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan pada masa Bani Abbasaiyah merupakan dasar-dasar Ilmu Fiqh. Ilmu ini disusun oleh ulama-ualama yang terkenal pada masa itu dan masih besar pengaruhnya sampai sekarang, Diakalangan Ulama Ahlu al-Sunnah wal jamaah. Muncul Imam Abu Hanifah(810-150 H) yang lebih cendrung memakai akal (rasio) dan Ijtihad, Imam Malik Bin Anas (93-179 H) yang lebih cendrung memakai hadist dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian Rasio, Imam Syafi'i (150-204 H) yang berusaha mengkompromikan aliran Ahl al-Ra'yi, dengan Ahl al-Hadist dalam Fiqh, dan Imam Ahmad bin Hambal(164-241 H) yang merupakan tokoh aliran Fiqh yang keras, ketat dan kurang luwes dari aliran-aliaran fiqh yang lainnya. Buku karang mereka masih dapat kita temukan sampai sekarang yaitu al-muawatta, al-ummal-risalah, dan sebagainya.
v  Ilmu Tashawuf
Dalam bidang ilmu Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahn Daulah Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah Bani Abbasiyah meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu buku Ihya' Al-Din, yang terdiri dari lima jilid.  Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang berjudul Al-Thawasshin,         Al-Thusi menulis buku al-lam'u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W. 465 H) dengan bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi il'm al-Tashawuf.
v  Ilmu Matematika
Terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika. Diantara ahli matematika islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin Ismail Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika.
v  Ilmu Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami' al-mufradat al-adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi). Dan masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal ini terlihat bahwa saat Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia mendirikan Universitas Mustansiriah di Baghdad yang dapat dibanggakan karena telah mampu melampaui Universitas di Eropa. Mereke mempunyai Fakultas-fakultas yang sempurna, mahaguru digaji berdasarkan banyak mahasiswa yang terdapat dalam Fakultasnya, setiap Mahasiswa dan Mahaguru mendapatkan satu dinar emas setiap bulannya, dan rata-rata setiap Fakultas tidak ada yang kurang dari 3000 Mahasiswa didalamnya. Setiap Mahasiswa boleh makan ke dapur umum Mahasiswa dengan Cuma-Cuma, sebuah perpustakaan besar terdapat dalam Universitas itu. Setiap mahasiswa yang berkeinginan menyalin buku-buku atau ingin menyusun buku baru, ada sebuah kantor yang mengurus persediaan kertas, pena dan tinta untuk keperluan itu. Disamping Universitas dibangun sebuah rumah sakit untuk mahasiswa diperiksa kesehatannya, hal inilah yang menyebabakan berbagai Universitas di Eropa mengambil contoh pada Universitas Mustansiriah itu.
D. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah
Menurut W. Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah adalah :
1.      Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa dan pelaksana pemerintah sudah sangat rendah.
2.      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.      Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M. A diantara hal yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbasiayah Adalah :
1.      Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib pada saat pemerintahan Bani Umayyah, keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti Abbasiyah berdiri Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antar bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk berkusa telah dirasakan sejak awal pemerintahan Bani Abbas.
2.      Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan Ekonomi bersamaan dengan Kemunduran dibidang Politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih besar dari pada yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan Harta. Setelah khalifah mengalami periode kemunduran , pendapatan negara menurun, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3.      Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada periode Abbasiyah , konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga terjadi perpecahan. Berbagai Aliran keagaam seperti Mu'tazillah, Syi'ah, Ahlus sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4.      Perang Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal ummat Islam. Pernag salib yang terjadi beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian Bani Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
5.      Serangan Bangsa Mongol
Serangan tentara mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuasaan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada kekuatan Mongol.
E. Masa Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyah
Akhir dari kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah saudara dari Kubilay Khan yang berkuasa di Cina sampai ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pada mulanya Hulagu Khan mengirim suatu tawaran kepada  Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir Al-Mu'tashim billah untuk bekerja sama menghancurkan gerakan Assassin. Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh khalifah. Oleh karena itu timbullah kemarahan dari pihak Hulagu Khan. Pada bulan september 1257 M, Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah Khurasan, dan mengadakan penyerangan didaerah itu. Khulagu Khan memberikan ultimatum kepada khalifah untuk menyerah, namun khalifah tidak mau menyerah dan pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara Mongol melakukan penyerangan.
Pada waktu penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah dekat Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya membutuhkan beberapa hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sunagi Tigris sehingga berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.








BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Dari penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban ummat Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa ini  banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa ini telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam bidang matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashauf, yang juga melairkan tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.



B.     SARAN
Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut kami  telah kami susun secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa “meskipun” berkisah mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita, belajar menghargai tetes darah dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal berharga untuk melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar dengan perjalanan sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi menguatkan keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang kita peluk ini.
DAFTAR PUSTAKA
  • Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009
  • Prof. Dr. H. Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam jilid II,  Padang : IAIN-IB Press, 2001
  • Dra. Hj. Ismail, Chadijah, sejarah pendidikan Islam, Padang : IAIN-IB Press, 1999
  • Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009
  • Dr. Yatim,Badri, M. A, Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993

















4 komentar:

Unknown mengatakan...

hi Faiziyah,
saya suka Makalah ini. Trimakasih yah.

Salam : http://hikayahhati.blogspot.com

Key.Ra09 mengatakan...

tx m'b buat informasinya. klw boleh tahu judul lagu di blog ini apa yah m'b ?

San3DARUSSALAM mengatakan...

izin copy mba

FauzanA.F. mengatakan...

terima kasih, ini sangat membantu untuk tugas proyek saya.

Posting Komentar